Diakui
atau tidak, pasca otonomi daerah, pengelolaan Penyuluh Perikanan (dahulu
Penyuluh Pertanian Bidang Perikanan) berstatus PNS di tangan pemerintah daerah
masih dilingkupi beragam persoalan.
Mulai
minimnya akuntabilitas pada penempatan CPNS pasca rekrutmen, rendahnya
kompetensi dan profesionalisme, hingga masalah dianak tirikan. Disisi lain,
jaminan kebebasan berserikat atau afiliasi organisasi di tingkat lokal menjadi
persoalan tersendiri.
Persoalan
akuntabilitas, antara lain tercermin dari
masih adanya permasalahan dalam penempatan CPNS sesuai dengan formasi yang
telah ditetapkan oleh Kementerian Pemberdayaan Aparatur Negara dan Reformasi
Birokrasi RI pasca rekrutmen di berbagai daerah. Alhasil, CPNS formasi Penyuluh
Perikanan hasil rekrutment tidak seluruhnya menjadi Calon Penyuluh Perikanan.
Hal ini terjadi karena dua hal, yang pertama pihak yang bersangkutan
lebih memilih kerja kantoran, sehingga mereka memilih untuk dinas di SKPD
kabupaten, sehingga yang bersangkutan pun melakukan upaya-upaya untuk mencapai
keinginannya tersebut. Yang kedua, di sisi lain pihak pemerintah daerah
meng-amin-i upaya-upaya ini. Selain itu, beberapa pemda masih menganggap
eksisitensi penyuluh perikanan masih kurang diperlukan di mata sebagian kepala
daerah. Formasi yang diusulkan oleh pemda ke pemerintah pusat yang
seyogyanya merupakan gambaran kebutuhan di daerah, tetapi hanya menjadi
"komoditas" saja.
"Kita
siapkan 8 ribu penyuluh dengan komposisi 3.188 penyuluh PNS, 1.500 penyuluh
PPTK, dan 3.312 penyuluh swadaya. Dengan jumlah tersebut, di masing-masing
kabupaten akan ada 20-25 penyuluh," kata Menteri Kelautan dan Perikanan
Sharif Cicip Sutardjo sesuai apel siaga penyuluh perikanan tenaga kontrak di
Jakarta, kemarin (07/02/2012). Jika Kementerian Kelautan dan Perikanan
menargetkan Penyuluh Perikanan berjumlah sekitar 3.188 penyuluh PNS, 1.500
penyuluh PPTK, dan 3.312 penyuluh swadaya. Masalah penempatan CPNS pasca
rekrutment di daerah akan menjadi tantangan besar untuk mencapai cita-cita
Bapak Menteri tersebut.
Terkait
dengan rendahnya kompetensi dan profesionalisme penyuluh perikanan, hal ini
diakibatkan masih kurangnya mendapat Pendidikan dan Pelatihan (Diklat).
Hingga saat ini, pendidikan dan pelatihan yang masih digulirkan bagi
penyuluh perikanan hanya sebatas diklat dasar jabfung tingkat terampil, diklat
dasar jabfung tingkat ahil, dan diklat alih jenjang/ kelompok. Sedangkan
untuk diklat teknis dan diklat manajemen hingga sekarang belum pernah diadakan
bagi penyuluh perikanan. Di sisi lain, bagi penyuluh yang mempunyai
inisiatif melakukan upaya peningkatan kompetensi dan profesionalisme terkendala
oleh jarak yang relatif jauh dengan UPT Kementerian yang tersebar di seluruh
Indonesia, hal ini menyebabkan biaya transportasi dan akomodasi yang besar.
Terkait
dengan masih terjadi anak tiri, hal ini memang nyata
terjadi di beberapa daerah. Penyuluh Perikanan PNS masih dianggap Petugas
Penyuluh Lapangan (PPL) atau masih dianggap sama dengan Penyuluh Pertanian PNS.
Hal ini, menyebabkan masih terjadi Penyuluh Perikanan mendapat wilayah
kerja/ binaan penyuluhan hanya satu desa. Hal ini berdasarkan program
Kementerian Pertanian memang untuk Penyuluh Pertanian, Satu Desa Satu Penyuluh.
Bagaimana seorang penyuluh perikanan bekerja dengan cakupan wilayah satu
desa dengan potensi perikanan yang relatif sangat terbatas.
Semua
permasalahan yang terjadi, mulai minimnya akuntabilitas pada penempatan CPNS
pasca rekrutmen, rendahnya kompetensi dan profesionalisme, hingga masalah
dianak tirikan harus mendapat perhatian dan dicarikan win win solution dari
pemerintah pusat, melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan, agar cita-cita
menjadikan Indonesia Penghasil (Produk) Perikanan Terbesar Tahun 2015 dapat
tercapai. (HDS)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar